Sarara Media
Tingkat Partisipasi Pemilih di Pilkada 2024 : Fakta dan Perspektif
Tuesday, 03 Dec 2024 00:00 am
Sarara Media

Sarara Media

PALU, Sararamedia.id - Isu rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 menjadi perhatian publik. Namun, data menunjukkan peningkatan partisipasi dari dua Pilkada sebelumnya. Pada Pilkada 2015, tingkat partisipasi pemilih mencapai 67 persen, meningkat menjadi 70,9 persen di Pilkada 2020, dan pada Pilkada 2024 tercatat sebesar 72,6 persen.

Lalu, benarkah rendahnya partisipasi pemilih dapat mempengaruhi legitimasi hasil Pilkada atau bahkan membatalkan hasil pemilu?

Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tengah, Naharuddin, menyatakan bahwa rendahnya partisipasi masyarakat tidak mempengaruhi legalitas hasil Pilkada.

``Memilih itu adalah hak, bukan kewajiban yang bisa dipaksakan. Rendahnya partisipasi karena apatisme atau golput tidak akan menggugurkan legitimasi pemilu, kecuali jika terdapat intimidasi, pemaksaan, atau kebijakan tertentu yang menghalangi pemilih untuk hadir di TPS,`` ujar akademisi Universitas Tadulako ini, Selasa siang, (3/12/2024) waktu setempat.

Pengamat kebijakan publik, Prof. Slamet Riady Cante, menilai bahwa kejenuhan politik masyarakat turut menjadi faktor rendahnya partisipasi dalam Pilkada.

``Pilpres dan Pileg yang terlalu berdekatan dengan Pilkada membuat masyarakat jenuh. Ini menjadi tantangan bagi KPU dan partai politik untuk meningkatkan partisipasi pemilih melalui pendidikan politik,`` kata Guru Besar Universitas Tadulako.

Hal senada disampaikan pengamat sosial, Drs. Andi Azikin Suyuti, M.Si. Ia menyoroti bahwa tingkat partisipasi pemilih di Sulawesi Tengah sebenarnya cukup baik dibandingkan daerah lain.

``Di Jakarta, tingkat partisipasi hanya sekitar 50 persen, sementara di Sulawesi Selatan sekitar 60 persen. Sulawesi Tengah lumayan dengan angka partisipasi sekitar 70 persen,`` jelas mantan Kepala Dinas Sosial Sulawesi Tengah tersebut, mengacu pada data SIREKAP sementara.

Menurutnya, tidak semua pemilih yang tidak hadir di TPS bisa dipaksakan, karena ada faktor-faktor eksternal yang memengaruhi keputusan mereka.

``Namun, penentu akhir pemenang tetap berada di Mahkamah Konstitusi (MK) jika ada sengketa hasil pemilu``. pungkasnya. (***)