SIGI, Sararamedia.id - Direktur Pengembangan Produk Unggulan Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Direktorat Jenderal Pengembangan Ekonomi dan Investasi DDTT, M. Fachri Labalado melakukan peninjauan terkait dengan "Hilirisasi Produk Kakao Berbasis Desa" di Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah, Senin pagi, (5/8/2024) waktu setempat.
Peninjauan tersebut turut dihadiri oleh Direktur PT. MARS Symnioscience Indonesia, JB Cocoa, Dinas Perkebunan Sigi, Badan Riset dan Inovasi Daerah Sulteng, Camat Palolo, Kepala Desa Karunia dan Kepala Desa Sintuwu. Rombongan meninjau dan melakukan diskusi terkait dengan upaya hilirisasi produk kakao berbasis desa yang akan dimotori oleh BUMDes.
Fachri menyampaikan bahwa, dana desa harus digunakan untuk mendorong produk unggulan yang sesuai dengan potensi masing-masing desa.
``Jangan sampai usaha desa bumdes itu latah dan hanya terbatas pada usaha simpan pinjam, sewa tenda. Harus ada dorongan dana desa untuk produk Kakao, apalagi Sulawesi Tengah ini menjadi produsen terbesar Kakao di Indonesia,`` kata Fahri.
Menurut data BPS 2022, Sulawesi Tengah sendiri tercatat pada data tahun 2022 merupakan produsen kakao tertinggi di Indonesia yaitu sebesar 130.836 Ton atau sebesar 20.11?ri produksi Nasional, diikuti oleh Sulawesi Selatan sebesar 104.616 Ton dan Sulawesi Tenggara sebesar 86.920 Ton.
Direktur PT MARS Symbioscience Indonesia, Fay Fay Choo juga menambahkan, bahwa model yang tepat dalam pengembangan kakao di Sulteng ialah model pemberdayaan partisipatif dengan melibatkan kelompok tani, perempuan dan pemuda. Sehingga tidak hanya meningkatkan pendapatan petani saja tetapi juga perempuan dan pemuda.
Ditambah lagi, model agroforestry juga model yang tepat, dimana tidak hanya komoditas kakao saja, tetapi ada produk lain seperti pisang, durian, alpukat dan tanaman lain untuk membantu petani dalam meningkatan produktifitasnya menuju desa mandiri benih, pupuk dan mendorong keterlibatan pemuda.
``Ini kan sudah ada contoh keberhasilan pembibitan dan pemuda, maka kita ciptakan pembibitan dan pemuda-pemuda baru ditempat lain,`` bebernya.
Disatu sisi, Fachri menambahkan, bahwa tata kelola produk unggulan kakao ini perlu didorong kerja sama multistakeholder.
Bahkan, kata dia, tak menutup kemungkinan kita harus mendorong pembentukan asosiasi desa penghasil kakao. Hal ini akan mempercepat hilirisasi kakao berbasis desa yang akan menciptakan desa mandiri benih berkualitas dan meningkatkan sumberdaya manusia serta perekonomian desa melalui BUMDes.
``Apalagi Kakao merupakan produk unggulan strategis Indonesia yang setara dengan sawit, juga merupakan satu dari empat produk unggulan yang dicanangkan oleh Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah,`` tegasnya.
``Saat ini Indonesia masih mengimpor 300 ribu kakao pertahun. Artinya pasar domestik juga masih belum tercukupi, sehingga desa harus mampu menangkap peluang ini untuk meningkatkan perekonomiannya``. tutupnya. (***)